Rabu, 03 Desember 2008

Permasalahan / Hambatan dalam Pengelolaan SDA dan LH

Telah diketahui bersama bahwa sumberdaya alam (SDA) mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian nasional maupun daerah. Demikian pula fungsi SDA terhadap pelestarian lingkungan hidup (LH). Namun demikian, telah diketahui pula bahwa kerusakan SDA telah diikuti oleh berbagai dampak buruk, baik bagi perkembangan ekonomi itu sendiri maupun pelestarian LH. Untuk memahami terjadinya fenomena dimaksud, perlu dilakukan pengungkapan berbagai sebab kerusakan, maupun belum dapat ditanganinya kerusakan dan pencemaran LH tersebut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.000 pulau, Indonesia membentangkan dua kawasan biogeografis – Asia dan Australia - dan mendukung berbagai jenis kehidupan flora dan fauna dalam hutan basah yang asli dan kawasan pesisir dan laut yang kaya. Sekitar 3.305 spesies hewan amfibi, burung, mamalia dan reptil dan sedikitnya 29.375 spesies tumbuhan yang tersebar di pulau-pulau ini, yang diperkirakan mencapai 40 persen dari biodiversitas di kawasan Asia Pasifik. Namun, lingkungan alam yang indah dan sumberdaya yang kaya harus terus menghadapi tantangan dari fenomena alam maupun kegiatan manusia.
Tekanan yang meningkat dalam memenuhi tuntutan penduduk dan pengelolaan lingkungan yang tidak memadai merupakan tantangan yang merugikan rakyat miskin dan perekonomian di Indonesia. Misalnya, total kerugian perekonomian akibat keterbatasan akses ke air bersih dan sanitasi yang aman setidaknya mencapai 2 persen dari PDB setiap tahun sedangkan biaya tahunan yang ditimbulkan polusi udara bagi perekonomian Indonesia telah diperhitungkan mencapai sekitar $400 juta per tahun (Bank Dunia - DFID, 2007). Biaya-biaya ini secara tidak proporsional ditanggung oleh rakyat miskin karena mereka kemungkinan besar harus menghadapi polusi dan sulit melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi dampaknya.
Tantangan sumberdaya alam terus terjadi dan menjadi lebih rumit setelah desentralisasi. Misalnya, sektor kehutanan telah lama memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat pedesaan dan dalam menyediakan pelayanan lingkungan, tetapi, sumberdaya ini belum dikelola secara berkelanjutan atau adil. Kerangka administratif dan peraturan di Indonesia belum dapat memenuhi tuntutan akan adanya pembangunan yang berkelanjutan meskipun adanya dukungan kebijakan dan pengembangan kapasitas dari pemerintah sendiri maupun dukungan dari donor internasional.
Kinerja yang buruk terutama disebabkan oleh dua alasan: Pertama, meskipun terdapat investasi yang besar pada kebijakan lingkungan dan sumberdaya alam serta pengembangan kepegawaian, pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih buruk dan lambat karena lemahnya komitmen instansi-instansi sektoral. Selain itu, pengetahuan tentang dampak negatif lingkungan yang diperkirakan akan terjadi dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mekanisme bagi stakeholder untuk meminta pertanggungjawaban kinerja instansi pemerintah masih lemah. Kedua, pertimbangan-pertimbangan lingkungan masih sangat minim di tingkat perencanaan dan penyusunan program, terutama dalam proses perencanaan investasi publik dan dalam rencana tata guna lahan dan sumberdaya daerah.
Masalah-masalah yang paling serius mengancam kemajuan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia adalah dorongan yang keliru yang menghambat penggunaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Sumberdaya alam memberikan kontribusi yang besar kepada PDB Indonesia dan anggaran belanja Pemerintah. Masih menurut Bank Dunia, (DFID = Department for International Development, 2007), sektor pertanian, kehutanan, dan pertambangan menyumbang sekitar 25% PDB Indonesia dan sekitar 30% dari seluruh penerimaan anggaran Pemerintah (pada tahun 2005, pajak penghasilan atas migas mencapai 7% dari pendapatan, dan penerimaan bukan pajak atas pendapatan sumberdaya alam mencapai 22% dari pendapatan negara). Namun, kebijakan makro ekonomi Indonesia (kebijakan pendapatan pajak dan bukan pajak serta pola perimbangan keuangan) tampaknya mendorong terjadinya pengurasan sumberdaya alam akibat penggunaan yang terus-menerus. Kebijakan-kebijakan pemerintah kabupaten tentang penerimaan dari sumberdaya ini ikut memperparah situasi.
Kesenjangan antara kebijakan dan praktek setelah desentralisasi cenderung memperlambat perbaikan yang signifikan pada kualitas lingkungan. Di bawah sistem desentralisasi, kini sedang diujicoba sampai sejauh mana pemerintah daerah merasa terikat oleh garis kebijakan nasional termasuk dalam kaitan dengan pengelolaan SDA dan LH. Meskipun adanya investasi yang besar pada kebijakan lingkungan dan pengembangan kepegawaian, namun pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih buruk. Diperlukan kajian ulang tentang mekanisme pengelolaan SDA dan LH di bawah sistem desentralisasi, untuk menemukan pendekatan yang lebih efektif. Banyak provinsi dan kabupaten membuat penafsiran-penafsiran baru mengenai peraturan yang ada, atau berupaya mencari prosedur peraturan yang seluruhnya baru. Meskipun sebagian inovasi ini memperkuat pengendalian lingkungan, namun sebagian besar malah mengendurkan pengendalian atau bahkan mengabaikan seluruh standar nasional.
Selanjutnya, kesadaran masyarakat adalah penting dalam upaya mengatasi masalah lingkungan di Indonesia, dari risiko bencana alam sampai konservasi biodiversitas. Warga masyarakat yang terinformasi dan sadar dapat mengambil tindakan untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan dan dapat membentuk kelompok untuk peningkatan upaya penanganan di tingkat politik maupun pemerintah daerah. Namun, di tingkat yang lebih luas, nilai-nilai lingkungan belum tertanam dengan kuat pada masyarakat sehingga mereka kurang menghargai sumberdaya alam dan pelayanan lingkungan. Bencana-bencana lingkungan yang baru-baru ini terjadi (banjir, lumpur, kebakaran, erosi) memang telah mendorong perhatian yang lebih besar kepada masalah lingkungan, namun pengkajian lebih lanjut mengenai pengetahuan, sikap dan praktek masih perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman ini mencapai masyarakat di pedesaan maupun terutama perkotaan. Pengkajian dimaksud juga untuk menemukan metoda dan sarana yang paling cocok untuk membangun di atas kesadaran dasar ini.
Manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi, risiko dan biaya dari langkah-langkah alternatif pembangunan, kebijakan energi, praktek sektor kehutanan dan masalah perubahan iklim saling berhubungan erat. Bahan bakar fosil mendominasi konsumsi energi di Indonesia, di daerah pedesaan maupun perkotaan, dan Indonesia secara bertahap sedang meningkatkan penggunaan energi yang dihasilkan oleh batu bara (sekitar 40% pada tahun 2002). Indonesia juga merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, yang memproduksi 80% gas rumah kaca dari perubahan penggunaan lahan selain penebangan hutan dan kebakaran hutan/gambut.
Kebijakan energi nasional mendorong peningkatan pemanfaatan sumber energi yang dapat diperbaharui termasuk biomassa, panas bumi dan tenaga air. Pada saat yang sama, pemerintah merencanakan pemanfaatan batu bara berskala besar untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak. Peningkatan pemanfaatan batu bara dapat menimbulkan dampak lingkungan negatif yang signifikan terkait dengan kandungan sulfur yang tinggi dan dampak potensial terhadap hutan akibat pembukaan lahan. Solusi energi alternatif diperlukan bagi daerah-daerah yang lebih terpencil dengan harga yang sesuai dan dukungan sektor publik.
Hambatan lain terkait dengan masalah kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di sejumlah negara berkembang jumlahnya mencapai ratusan juta jiwa dan tersebar di sebagian besar negara Amerika Latin, Afrika dan Asia Selatan. Kemiskinan absolut yang ada di dunia merupakan kemiskinan menyeluruh yang meliputi aspek: kurang pangan, buta huruf, wabah penyakit, lingkungan kumuh, gizi buruk, tingginya angka kematian bayi dan rendahnya harapan hidup. Penyebab kemiskinan adalah akibat pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, kegagalan pemerintah dalam memperbaiki sistem perekonomian dan politik, menumpuknya hutang-hutang negara miskin.
Keadaan ini mendorong orang kelaparan dan orang-orang miskin untuk mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak terencana yang berakibat pada kemerosotan dan kehancuran lingkungan hidup. Penyebab kerusakan lingkungan hidup di negara maju disebabkan oleh persoalan pencemaran udara dan kebisingan yang bersumber dari aktivitas kendaraan bermotor, pembangkit tenaga listrik serta industri dan rumah tangga yang terlalu banyak mengkonsumsi energi.
Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia pun mengalami hal-hal yang disebutkan dan dalam kondisi yang masih menguatirkan. Masalah kemiskinan serta kesehatan dan gizi buruk dari jutaan rakyat miskin masih menjadi masalah utama di samping persoalan sampah, pencemaran udara dan air di kota-kota besar.

Tidak ada komentar: