Rabu, 03 Desember 2008

Peranan Gereja dan Masyarakat dalam PSDA dan LH

Aspek-aspek kunci dari pembangunan berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat (terutama lokal), swasembada dan keadilan sosial. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah menggeser paradigma berpikir dan bertindak dari pola tradisional yang didominasi pemerintah, para ahli dan sektor swasta dalam pengelolaan SDA dan LH menuju pendekatan yang mengkombinasikan pengalaman, pengetahuan dan pemahaman berbagai kelompok dan lembaga masyarakat. Kata-kata kemitraan dan kelompok kepentingan (stakeholders) selalu digunakan untuk mencirikan sebuah pendekatan yang menyertakan baik kelompok kepentingan maupun publiksecara luas dalam berbagai aktivitas pengelolaan SDA dan LH dimaksud.
Ada banyak alasan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan dimaksud. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan program atau proyek, dimungkinkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
· Merumuskan persoalan dengan lebih efektif
· Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah
· Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima
· Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan di lapangan, dll
Meskipun pendekatan partisipatif seperti ini memerlukan waktu yang lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Sementara itu, pendekatan ini juga tidak kalah mendapat tantangan yang cukup besar dari berbagai pihak yang secara tradisional selama ini diberikan dan/atau memiliki kewenangan untuk mengelola SDA dan LH berdasarkan konsep umum dan cetak biru yang kurang memperhatikan aspek heterogenitas dari permasalahan yang dihadapi.
Dengan berkembangnya kompleksitas, keterkaitan dan ketidak-pastian isu-isu, serta percepatan perobahan kondisi yang terjadi maka pola partisipat atau pelibatan masyarakat dapat membantu mengatasi berbagai kendala di lapangan. Dengan model ini akan terjadi peningkatan kesadaran masyarakat serta harapan dan kebutuhan mereka untuk ikut bertanggung jawab dalam melestarikan SDA dan LH. Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan (over-exploitation) dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bias menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya. Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.
Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan dimaksud, terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para pembuat kebijakan (policy maker) dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan SDA dan LH. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup. Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Contoh menarik adalah kebijakan penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasi terlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain, telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisir yang bersifat dinamis.
Ke dua adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan ini terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, di samping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan ‘tekanan’ kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk posisi tawar mereka sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya berbagai pihak untuk melakukan internalisasi eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik maupun industri rumah tangga yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke dalam sungai yang kemudian akan terbuang ke laut, dsb.
Ketiga adanya kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya perhatian dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan ini terjadi akibat kurangnya tanggapan pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait (stakeholders). Dalam hal ini, seringkali pemerintah melakukan penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada secara parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existence antar variabel lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya saja, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun dalam jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.
Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan SDA dan LH. Dewasa ini, pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyallir terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya bentuk-bentuk pengelolaan lain yang lebih aplikatif (applicable) dan adaptif (acceptable). Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based management = CBM).
Komunitas/masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan dalam hal-hal tersebut menyebabkan terdapatnya perbedaan pula dalam praktek-praktek pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, dalam proses pengelolaan lingkungan perlu memperhatikan masyarakat dan kebudayaannya, baik sebagai bagian dari subyek maupun obyek pengelolaan tersebut. Dengan memperhatikan hal ini dan tentunya juga kondisi fisik dan alamiah dari lingkungan yang ada, proses pengelolaannya diharapkan dapat menjadi lebih terpadu, lancar dan efektif serta diterima oleh masyarakat setempat.
Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi setempat. Yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memiliki beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Setidak-tidaknya terdapat 9 kunci kesuksesan dari model Co-Management, (antara pemerintah atau swasta yang diberi kewennangan pengelolaan dengan masyarakat atau lembaga masyarakat yang dilibatkan) yaitu (i) batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi, (ii) kejelasan keanggotaan, (iii) keterikatan dalam kelompok, (iv) lebih besar manfaat dari biaya, (v) pengelolaan yang sederhana, (vi) legalisasi dari pengelolaan, (vii) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (viii) desentralisasi dan pendelegasian wewenang, serta (ix) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Dengan demikian maka upaya penanggulangan kerusakan SDA dan LH dapat menerapka konsep partisipasi masyarakat mulai dari tahap; persiapan, perencanaan, persiapan sosial, penyadaran masyarakat, analisis kebutuhan, pelatihan keterampilan dasar, penyusunan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan. Di samping itu masih diperlukan upaya lain seperti; pengembangan fasilitas sosial dan pendanaan.
Apa dan bagaiman Gereja berperan dalam hal ini?
Dalam keyakinan iman percaya kepada Tuhan maka orang Kristen baik selaku individu maupun dalam wujud persekutuan (Gereja) mengakui bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk memanfaatkan dan mengelolanya secara bertanggung jawab dan lestari. Dengan demikian, segala akal budi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia tidak boleh disalah-gunakan dalam kaitan dengan pemanfaatan SDA dan LH itu sendiri. Gereja memahami tugas panggilan dan tanggung jawabnya untuk ikut berperan dalam pengelolaan dan pelestarian alam serta segala isinya yang telah disediakan Tuhan. Gereja juga memiliki tanggung jawab moral dalam rangka memperbaiki dan mencegah terjadinya kerusakan dan pengrusakan lingkungan sebagai akibat keserakahan, dsb. (Baca; Kejadian 1, Mazmur 104, dsb).
Iman Kristen memahami kerusakan lingkungan hidup sebagai bagian dan wujud dari perilaku manusia yang tidak sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta. Alkitab dengan jelas mengemukakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta untuk tujuan-tujuan luhur, termasuk bagi manusia. Alam semesta diciptakan baik untuk tujuan ekonomi (dipakai) maupun untuk tujuan ekumene (didiami/dihuni) oleh seluruh ciptaan secara bersama. Kedua istilah itu memang berasal dari akar kata yang sama yaitu oikos (rumah)yang berarti bumi atau dunia atau kosmos, tempat seluruh makhluk ciptaan Tuhan bernaung dan mendapatkan sumber hidupnya. Ketika manusia semakin banyak dan menguasai teknologi (mandat) yang didasarkan pada Kejadian 1:28), maka manusia semakin dominan dan menekan lingkungan (ciptaan lain), sehingga terjadilah kerusakan lingkungan. Jadi kerusakan lingkungan diakui sebagai akibat dari kesalahan dan ulah manusia (Robert P. Borrong, 2002).
Selanjutnya dikatakan bahwa bagi gereja-gereja di Indonesia, kepedulian kepada lingkungan hidup, selain dilihat sebagai tugas misi gereja, juga dilihat sebagai peran serta gereja dalam pembangunan nasional. Jadi ada semacam usaha kontekstualisasi: “Tugas panggilan gereja-gereja berpartisipasi dalam pembangunan nasional dapat dilihat dari beberapa segi yang saling memperkuat dan saling memperkaya, antara lain dari segi tanggung jawab untuk mengelola, memelihara dan melestarikan ciptaan Allah” (Kejadian 1:26-28; 2:15; Mazmur 8). Tugas itu dipahami pula sebagai salah satu cara mengamalkan Pancasila, khususnya sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang dilaksanakan dengan berusaha menghilangkan jurang antara yang kaya dan yang miskin dan melawan segala kecenderungan yang merusak lingkungan hidup.
Gereja sebagai persekutuan yang sekaligus suatu institusi mempunyai tanggung jawab untuk membebaskan umatnya dari penindasan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan termasuk pembebasan dari perilaku keserakahan yang merusak seluruh tatanan ciptaan Allah. Ada beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan dalam tugas penata-layanan dalam gereja antara lain.
· Gereja harus menjadi sahabat bagi semua kalangan; mendengar dengan hati dan jiwa para penderita, korban, kaum tergusur dan mendoakan mereka; mengupayakan rasa senasib dan sepenanggungan serta keberpihakan kepada para penderita; mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membagi keprihatinan dan membangun nilai; menyediakan sarana atau kesempatan untuk temu persaudaraan yang mengatasi berbagai macam sekat sosial (social gap).
· Dalam kehadiran dan pelayanannya Gereja ikut dalam pengembangan nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai, kerelaan berkorban untuk membantu mereka yang berkesusahan karena tertimpa bencana.
· Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput seperti gerakan pelestarian lingkungan, pertanian organik, pengembangan ekonomi kerakyatan misalnya melalui sistem dana bergulir, dsb.
· Gereja mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat, gerakan-gerakan masyarakat yang mencermati kinerja pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya.
· Gereja wajib memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan, dalam skala yang lebih luas disertai peningkatan mutu lembaga dan peserta didiknya.
· Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. Untuk mendukung gerakan pemberantasan KKN maupun kegiatan yang merusak SDA dan LH, Gereja harus memberi perhatian pada pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga gerejawi sendiri terlebih dulu.
· Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama, sesuai dengan konteks masyarakat tempat Gereja hadir dan melayani. Usaha pencarian bersama itu bisa dilakukan dalam berbagai kategori pelayanan dan kesaksian.
· Gereja hidup dalam harapan, bagaimanapun rusaknya lingkungan hidup kita. Dengan kata lain, berharap berarti hidup berdasarkan janji Allah. Gereja hidup dalam pegangan antara janji dan pemenuhan janji.
Akhirnya, gereja pada hakekatnya harus bisa mengantar umatnya untuk berdamai dengan alam dan lingkungannya untuk menjamin ekosistemnya berada dalam keseimbangan sebagaimana awal penciptaan terjadi. Iman Kristen yang mengakui karya penciptaan dan kerusakan yang diakibatkan oleh dosa manusia tidak boleh hanya sekedar menjadi pengetahuan, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kesaksian. Gereja harus bisa membebaskan umatnya dari sikap egoisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Gereja harus ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan sumberdaya insani yang bertanggung jawab dan menjadi pelestari lingkungan hidup ciptaan Allah. Gereja harus menjadi penggerak sekaligus pendamping umatnya dalam berbagai tindakan penyelematan SDA dan LH dari berbagai kerusakan.

Tidak ada komentar: