Rabu, 03 Desember 2008

Peranan Gereja dan Masyarakat dalam PSDA dan LH

Aspek-aspek kunci dari pembangunan berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat (terutama lokal), swasembada dan keadilan sosial. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah menggeser paradigma berpikir dan bertindak dari pola tradisional yang didominasi pemerintah, para ahli dan sektor swasta dalam pengelolaan SDA dan LH menuju pendekatan yang mengkombinasikan pengalaman, pengetahuan dan pemahaman berbagai kelompok dan lembaga masyarakat. Kata-kata kemitraan dan kelompok kepentingan (stakeholders) selalu digunakan untuk mencirikan sebuah pendekatan yang menyertakan baik kelompok kepentingan maupun publiksecara luas dalam berbagai aktivitas pengelolaan SDA dan LH dimaksud.
Ada banyak alasan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan dimaksud. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan program atau proyek, dimungkinkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
· Merumuskan persoalan dengan lebih efektif
· Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah
· Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima
· Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan di lapangan, dll
Meskipun pendekatan partisipatif seperti ini memerlukan waktu yang lebih lama pada tahap-tahap awal perencanaan dan analisis, di dalam proses selanjutnya, pendekatan ini akan mengurangi atau menghindari adanya pertentangan. Sementara itu, pendekatan ini juga tidak kalah mendapat tantangan yang cukup besar dari berbagai pihak yang secara tradisional selama ini diberikan dan/atau memiliki kewenangan untuk mengelola SDA dan LH berdasarkan konsep umum dan cetak biru yang kurang memperhatikan aspek heterogenitas dari permasalahan yang dihadapi.
Dengan berkembangnya kompleksitas, keterkaitan dan ketidak-pastian isu-isu, serta percepatan perobahan kondisi yang terjadi maka pola partisipat atau pelibatan masyarakat dapat membantu mengatasi berbagai kendala di lapangan. Dengan model ini akan terjadi peningkatan kesadaran masyarakat serta harapan dan kebutuhan mereka untuk ikut bertanggung jawab dalam melestarikan SDA dan LH. Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan (over-exploitation) dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Kendati ia secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain juga bias menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya. Kegagalan pengelolaan SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan.
Pertama akibat adanya kegagalan kebijakan (lag of policy) sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan dimaksud, terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para pembuat kebijakan (policy maker) dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan SDA dan LH. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup. Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Contoh menarik adalah kebijakan penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk membantu menciptakan peluang investasi terlebih pasarnya sudah jelas. Namun di sisi lain, telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan sangat dirasakan langsung oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik wilayah pesisir yang bersifat dinamis.
Ke dua adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan ini terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, di samping kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan ‘tekanan’ kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk posisi tawar mereka sebagai pengelola lokal dan pemanfaat SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang perdulinya berbagai pihak untuk melakukan internalisasi eksternalitas dari kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik maupun industri rumah tangga yang membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke dalam sungai yang kemudian akan terbuang ke laut, dsb.
Ketiga adanya kegagalan pemerintah (lag of government) sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh kurangnya perhatian dalam menanggapi persoalan lingkungan. Kegagalan ini terjadi akibat kurangnya tanggapan pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen terkait (stakeholders). Dalam hal ini, seringkali pemerintah melakukan penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada secara parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan co-existence antar variabel lingkungan yang menuju keharmonisan dan keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya saja, solusi pembuatan tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi permasalahan yang ada, namun dalam jangka panjang persoalan lain yang mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.
Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan SDA dan LH. Dewasa ini, pengelolaan lingkungan secara terpadu disinyallir terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan akan adanya bentuk-bentuk pengelolaan lain yang lebih aplikatif (applicable) dan adaptif (acceptable). Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based management = CBM).
Komunitas/masyarakat memiliki adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Perbedaan dalam hal-hal tersebut menyebabkan terdapatnya perbedaan pula dalam praktek-praktek pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, dalam proses pengelolaan lingkungan perlu memperhatikan masyarakat dan kebudayaannya, baik sebagai bagian dari subyek maupun obyek pengelolaan tersebut. Dengan memperhatikan hal ini dan tentunya juga kondisi fisik dan alamiah dari lingkungan yang ada, proses pengelolaannya diharapkan dapat menjadi lebih terpadu, lancar dan efektif serta diterima oleh masyarakat setempat.
Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah yang mungkin memiliki perbedaan disamping kesamaan. Dengan demikian, strategi pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi setempat. Yang perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.
Konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan memiliki beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan; (2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik; (3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada; (4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan.
Setidak-tidaknya terdapat 9 kunci kesuksesan dari model Co-Management, (antara pemerintah atau swasta yang diberi kewennangan pengelolaan dengan masyarakat atau lembaga masyarakat yang dilibatkan) yaitu (i) batas-batas wilayah yang jelas terdefinisi, (ii) kejelasan keanggotaan, (iii) keterikatan dalam kelompok, (iv) lebih besar manfaat dari biaya, (v) pengelolaan yang sederhana, (vi) legalisasi dari pengelolaan, (vii) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (viii) desentralisasi dan pendelegasian wewenang, serta (ix) koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat.
Dengan demikian maka upaya penanggulangan kerusakan SDA dan LH dapat menerapka konsep partisipasi masyarakat mulai dari tahap; persiapan, perencanaan, persiapan sosial, penyadaran masyarakat, analisis kebutuhan, pelatihan keterampilan dasar, penyusunan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu dan berkelanjutan. Di samping itu masih diperlukan upaya lain seperti; pengembangan fasilitas sosial dan pendanaan.
Apa dan bagaiman Gereja berperan dalam hal ini?
Dalam keyakinan iman percaya kepada Tuhan maka orang Kristen baik selaku individu maupun dalam wujud persekutuan (Gereja) mengakui bahwa alam raya dan seluruh isinya adalah ciptaan Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk memanfaatkan dan mengelolanya secara bertanggung jawab dan lestari. Dengan demikian, segala akal budi, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia tidak boleh disalah-gunakan dalam kaitan dengan pemanfaatan SDA dan LH itu sendiri. Gereja memahami tugas panggilan dan tanggung jawabnya untuk ikut berperan dalam pengelolaan dan pelestarian alam serta segala isinya yang telah disediakan Tuhan. Gereja juga memiliki tanggung jawab moral dalam rangka memperbaiki dan mencegah terjadinya kerusakan dan pengrusakan lingkungan sebagai akibat keserakahan, dsb. (Baca; Kejadian 1, Mazmur 104, dsb).
Iman Kristen memahami kerusakan lingkungan hidup sebagai bagian dan wujud dari perilaku manusia yang tidak sejalan dengan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta. Alkitab dengan jelas mengemukakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta untuk tujuan-tujuan luhur, termasuk bagi manusia. Alam semesta diciptakan baik untuk tujuan ekonomi (dipakai) maupun untuk tujuan ekumene (didiami/dihuni) oleh seluruh ciptaan secara bersama. Kedua istilah itu memang berasal dari akar kata yang sama yaitu oikos (rumah)yang berarti bumi atau dunia atau kosmos, tempat seluruh makhluk ciptaan Tuhan bernaung dan mendapatkan sumber hidupnya. Ketika manusia semakin banyak dan menguasai teknologi (mandat) yang didasarkan pada Kejadian 1:28), maka manusia semakin dominan dan menekan lingkungan (ciptaan lain), sehingga terjadilah kerusakan lingkungan. Jadi kerusakan lingkungan diakui sebagai akibat dari kesalahan dan ulah manusia (Robert P. Borrong, 2002).
Selanjutnya dikatakan bahwa bagi gereja-gereja di Indonesia, kepedulian kepada lingkungan hidup, selain dilihat sebagai tugas misi gereja, juga dilihat sebagai peran serta gereja dalam pembangunan nasional. Jadi ada semacam usaha kontekstualisasi: “Tugas panggilan gereja-gereja berpartisipasi dalam pembangunan nasional dapat dilihat dari beberapa segi yang saling memperkuat dan saling memperkaya, antara lain dari segi tanggung jawab untuk mengelola, memelihara dan melestarikan ciptaan Allah” (Kejadian 1:26-28; 2:15; Mazmur 8). Tugas itu dipahami pula sebagai salah satu cara mengamalkan Pancasila, khususnya sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang dilaksanakan dengan berusaha menghilangkan jurang antara yang kaya dan yang miskin dan melawan segala kecenderungan yang merusak lingkungan hidup.
Gereja sebagai persekutuan yang sekaligus suatu institusi mempunyai tanggung jawab untuk membebaskan umatnya dari penindasan, kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan termasuk pembebasan dari perilaku keserakahan yang merusak seluruh tatanan ciptaan Allah. Ada beberapa langkah operasional yang perlu dilakukan dalam tugas penata-layanan dalam gereja antara lain.
· Gereja harus menjadi sahabat bagi semua kalangan; mendengar dengan hati dan jiwa para penderita, korban, kaum tergusur dan mendoakan mereka; mengupayakan rasa senasib dan sepenanggungan serta keberpihakan kepada para penderita; mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membagi keprihatinan dan membangun nilai; menyediakan sarana atau kesempatan untuk temu persaudaraan yang mengatasi berbagai macam sekat sosial (social gap).
· Dalam kehadiran dan pelayanannya Gereja ikut dalam pengembangan nilai-nilai budaya yang berhubungan dengan keadilan sosial bagi seluruh bangsa, solidaritas, kesejahteraan umum, cinta damai, kerelaan berkorban untuk membantu mereka yang berkesusahan karena tertimpa bencana.
· Gereja mau ikut serta dalam prakarsa-prakarsa pemberdayaan masyarakat akar rumput seperti gerakan pelestarian lingkungan, pertanian organik, pengembangan ekonomi kerakyatan misalnya melalui sistem dana bergulir, dsb.
· Gereja mendorong umat yang mampu dalam bidangnya untuk masuk ke dalam jejaring yang sudah terbangun misalnya penggerak swadaya masyarakat, gerakan-gerakan masyarakat yang mencermati kinerja pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya.
· Gereja wajib memberi perhatian khusus pada pelayanan pendidikan, dalam skala yang lebih luas disertai peningkatan mutu lembaga dan peserta didiknya.
· Gereja menyadari bahwa usaha pembaharuan mesti mulai dari diri sendiri. Untuk mendukung gerakan pemberantasan KKN maupun kegiatan yang merusak SDA dan LH, Gereja harus memberi perhatian pada pembinaan administrasi dan disiplin yang bersih di dalam lembaga-lembaga gerejawi sendiri terlebih dulu.
· Sementara itu prakarsa-prakarsa lain harus ditemukan dalam pencarian bersama, sesuai dengan konteks masyarakat tempat Gereja hadir dan melayani. Usaha pencarian bersama itu bisa dilakukan dalam berbagai kategori pelayanan dan kesaksian.
· Gereja hidup dalam harapan, bagaimanapun rusaknya lingkungan hidup kita. Dengan kata lain, berharap berarti hidup berdasarkan janji Allah. Gereja hidup dalam pegangan antara janji dan pemenuhan janji.
Akhirnya, gereja pada hakekatnya harus bisa mengantar umatnya untuk berdamai dengan alam dan lingkungannya untuk menjamin ekosistemnya berada dalam keseimbangan sebagaimana awal penciptaan terjadi. Iman Kristen yang mengakui karya penciptaan dan kerusakan yang diakibatkan oleh dosa manusia tidak boleh hanya sekedar menjadi pengetahuan, tetapi harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai suatu kesaksian. Gereja harus bisa membebaskan umatnya dari sikap egoisme, materialisme, konsumerisme, dan hedonisme. Gereja harus ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan sumberdaya insani yang bertanggung jawab dan menjadi pelestari lingkungan hidup ciptaan Allah. Gereja harus menjadi penggerak sekaligus pendamping umatnya dalam berbagai tindakan penyelematan SDA dan LH dari berbagai kerusakan.

Pembangunan Berkelanjutan

Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya dan tindakan yang dilakukan dalam proses pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Secara sederhana pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai membangun saat ini dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang, kondisi kualitas lingkungan hari ini yang kita nikmati harus dapat pula dinikmati oleh generasi mendatang. Pendayagunaan sumberdaya alam sebagai esensi kemakmuran rakyat dilaksanakan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besar kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Tata ruang nasional yang berwawasan nusantara dijadikan pedoman bagi perencanaan pembangunan agar penataan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumberdaya alam dapat dilakukan secara aman, tertib, efisien dan efektif. Pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi Indonesia, seperti kehutanan dan pertambangan, harus senantiasa memperhatikan bahwa pengelolaan sumberdaya alam, di samping untuk memberikan berbagai manfaat masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa. Oleh karena itu, sumberdaya alam harus dijaga agar kemampuannya untuk memperbarui diri selalu terpelihara dengan baik.
Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui harus digunakan sehemat mungkin dan diusahakan habisnya selama mungkin. Energi merupakan sumberdaya yang dibutuhkan oleh kehidupan dan bagi pembangunan terutama untuk mendukung proses industrialisasi. Pembangunan energi harus diarahkan untuk menjamin kemandirian dalam energi, dan untuk itu perlu ditingkatkan upaya untuk mengembangkan dan memelihara cadangan sumber energi, menganekaragamkan penggunaan berbagai sumber energi dan menghemat pemakaiannya, serta lebih mengembangkan penggunaan sumber energi yang terbarukan. Kegiatan di sektor yang mengelola sumberdaya alam dari bumi memiliki potensi untuk merusak lingkungan, baik air, tanah maupun udara. Oleh karena itu, harus selalu dijaga agar kegiatan pembangunan di sektor ini memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Emil Salim, (2003) menyebutkan bahwa pembangunan berwawasan lingkungan dapat dimaknai sebagai pembangunan yang kegiatan-kegiatannya selalu memperhatikan aspek lingkungan kehidupan (berbasis ekologi) yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan generasi masa kini dengan tanpa mengorbankan kemampuan ekologi dalam memenuhi kebutuhan generasi masa mendatang. Apabila sejarah dilihat perhatian masyarakat dunia terhadap persoalan lingkungan hidup, maka sejak tahun 1972 yaitu pada konferensi tentang lingkungan hidup di Stockholm, bangsa-bangsa di dunia telah mulai menggeser makna pembangunan dunia dari pembangunan ekonomi-fisik ke arah perbaikan kualitas hidup, keadilan sosial dan kesetaraan jender. Fokus pembangunan tidak lagi ke masalah pembangunan semata, akan tetapi harus mengarah kepada upaya pemberdayaan manusia.
Pemberdayaan manusia dilakukan mulai dari golongan masyarakat yang paling rentan pada strata masyarakat terendah sampai ke masyarakat yang tergusur dan digusur oleh adanya kegiatan pembangunan. Agenda 21 merupakan rencana aksi masyarakat dunia untuk menyelamatkan bumi beserta isinya yang ditempati bersama dengan lebih 7 milyar manusia. Pembangunan berkelanjutan harus dimaknai sebagai pembangunan berbasis ekologi yang berorientasi pada pememenuhan kebutuhan generasi masa kini dengan tanpa mengorbankan kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan generasi masa mendatang.
Pembangunan pada dasarnya memanfaatkan kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada. Di sini, terjadi interaksi antara komponen lingkungan hidup manusia dengan sumberdaya alam. Sebagai contoh adalah pembangunan kegiatan industri dan perdagangan yang memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan. Konsumen dan produsen memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan melalui proses-proses produksi dan transaksi barang/jasa yang juga sekaligus menghasilkan limbah yang dilepas ke lingkungan. Konsekuensi logis yang terjadi adalah disatu pihak mengambil sumberdaya dari lingkungan alam yang kemudian limbah (terutama B3 = bahan berbahaya dan beracun) dan pencemaran dibuang ke lingkungan alam itu juga. Lama-kelamaan akan terjadi penyusutan kualitas dan kuantitas sumberdaya alam dan lingkungan sebagai akibat pengambilan sumberdaya dimaksud.
Dalam keadaan ini diperlukan pengaturan keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya alam dan dampak lingkungan melalui pembelajaran tentang ekologi, agar diperoleh hasil-hasil pembangunan yang berkelanjutan dan tidak merugikan generasi mendatang sebagai pewaris sumberdaya alam dan lingkungan. Belajar dari pengalaman tentang pengelolaan lingkungan hidup, maka diperlukan adanya kesamaan pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan, mengetahui prasyarat bagi keberhasilan pembangunan berkelanjutan, dan perlunya kondisi yang kondusif bagi keberhasilan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.
Pemahaman pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari sejarah perkembangan pembangunan lingkungan hidup dimulai dari Konferensi Stockholm ke “Our Common Future” hingga Deklarasi Rio dan Agenda 21. Dari hasil konferensi ini diperlukan adanya perubahan sikap dan pola hidup manusia ke arah yang lebih pro-lingkungan, serta etika pembangunan berkelanjutan yang harus dikembangkan menjadi dasarnya, dan perlunya manajemen strategis dalam melaksanakan Agenda 21 di masing-masing negara dan daerah di Indonesia.
Prasyarat pembangunan berkelanjutan di dunia termasuk Indonesia; adalah diperlukannya otonomi nasional, dimana keputusan suatu negara atau daerah bebas dari campur tangan pihak luar, baik dari segi politik maupun ekonomi, dibutuhkan sikap “good governance” dari pihak pemerintahan yang bersih, transparan, dan efektif. Di samping itu, dibutuhkan pula pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan guna menghilangkan kemiskinan, diperlukan stabilitas politik dan keamanan, menegakkan sistem demokrasi yang baik dan benar, kesetaraan jender serta kesempatan meningkatkan pendidikan dan lain sebagainya.
Kondisi global yang kondusif dalam melakukan pembangunan berkelanjutan sangat memerlukan kerjasama dan saling pengertian antar budaya bangsa, strategi koalisi global bagi pembangunan berkelanjutan, dan menerapkan prinsip tanggung-jawab bersama. Prasyarat pembangunan berkelanjutan; membutuhkan sikap “good governance” dari pihak pemerintahan yang bersih, transparan, dan efektif selain kebutuhan dalam hal pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan guna menghilangkan kemiskinan, sehingga diperlukan stabilitas politik dan keamanan, penegakan sistem demokrasi yang baik dan benar, kesetaraan jender serta pemberian kesempatan meningkatkan pendidikan.

Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia dan Dampaknya

Menurut Bappenas, (2005) penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari SDA mempunyai kontribusi terbesar. Pada tahun 2003 PNBP yang berasal dari SDA sebesar 73,9 % dari total PNBP. Selain itu SDA mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar 30 % dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 57 % dari total angkatan kerja (BPS, 2005). Ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas non migas. Pada tahun 2000, ekspor non migas mencapai US$ 47,8 miliar atau sekitar 76,9% dari total ekspor nasional. Pada tahun 2004 ekspor non migas mencapai 78,1% dari nilai total ekspor. Selanjutnya, dalam kurun waktu 2000-2004 trend ekspor non migas naik rata-rata sebesar 4,5% per tahun. Dalam kurun waktu yang sama ekspor migas hanya meningkat sebesar 2,8% per tahun, impornya meningkat sangat besar yaitu 20,2% per tahun, sehingga surplus sudah semakin menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 15,8% per tahun (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006).
Kondisi di atas menunjukkan bahwa SDA masih diandalkan dalam perekonomian nasional. Surplus migas sudah semakin kecil. Peran non migas terus meningkat. Ketika pentingnya non migas – terutama yg berasal dari SDA terbarukan (renewable resources) – tidak kunjung dapat diimbangi oleh upaya pelestariannya, perekonomian nasional berpotensi menghadapi krisis. Potensi terjadinya krisis tersebut ditandai oleh rusaknya SDA, khususnya yang berada di dalam kawasan lindung – telah mengakibatkan dampak negatif bagi LH. Kerusakan kawasan lindung telah menyumbang terjadinya bencana banjir dan longsor, serta di beberapa lokasi menyumbang terjadinya kekeringan dan potensi peledakan hama pertanian, sehingga telah mengurangi produktivitas hasil-hasil pertanian.
Sementara itu, sektor pertanian dalam arti luas, juga masih harus menjadi penyangga dalam penyerapan tenaga kerja nasional. Pada tahun 2001 sebanyak 39,7 juta orang bekerja pada sektor pertanian atau 43,8% dari jumlah tenaga kerja secara nasional. Jumlah itu semakin meningkat pada tahun 2003 mencapai 43,0 juta orang atau sebesar 46,3% dari jumlah tenaga kerja secara nasional. Pada tahun 2004 penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sempat menurun menjadi 40,6 juta orang atau sebesar 43,5% dari tenaga kerja nasional tapi pada tahun 2005 naik lagi menjadi 41,8 juta orang (44,0%) (Bappenas, 2005 dalam Koesnadi Hardjasoemantri,2006).
Di satu pihak, penyerapan tenaga kerja tersebut merupakan kontribusi sektor pertanian dalam mengatasi pengangguran, tetapi di lain pihak ini merupakan indikasi bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor lain mengalami penurunan dan menyebabkan sektor pertanian menjadi “sulit”. Hal ini mengakibatkan beban sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerjanya semakin berat, apalagi dengan adanya tekanan, di satu sisi, untuk peningkatan efisiensi dan daya saing sektor pertanian menghadapi pasar global, dan di sisi lain, terjadinya kerusakan daya dukung lingkungan.
Rendahnya daya dukung lingkungan ditandai setidaknya dalam lima tahun terakhir yang setiap tahunnya telah terjadi banjir, banjir bandang, dan longsor. Dalam tahun 2003 saja, di Indonesia telah terjadi 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 provinsi, di samping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 provinsi. Dalam tahun yang sama tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 Provinsi dan 36 Kabupaten. Selama periode itu juga, 19 provinsi lahan sawahnya terendam banjir, 263.071 Ha sawah terendam dan gagal panen, serta 66.838 Ha sawah puso (Kantor KLH, 2006).
Kerusakan SDA telah menyebabkan, di satu sisi menurunnya daya dukung lingkungan, dan di sisi lain, kemiskinan. Kemiskinan yang dipicu oleh berkurangnya atau bahkan hilangnya SDA sebagai tumpuan hidup masyarakat telah menumbuhkan sikap pragmatis masyarakat, seperti melakukan penjarahan dan memicu terjadinya konflik. Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan pengelolaan SDA telah melahirkan dan menyimpan potensi konflik yang lebih besar dan luas.
Sektor LH sebagai benteng terakhir untuk menangani akibat kerusakan SDA juga belum mendapat perhatian yang cukup. Hal demikian itu dicermikan antara lain oleh kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan SDA/LH yang hanya kurang dari 1% dari PNBP atau hanya berkisar 1 – 1,5 % dari total anggaran pembangunan. Kondisi tersebut juga terjadi pada tingkat pemerintah daerah. Dari data alokasi anggaran pembangunan daerah (provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggra Timur) sejak tahun 2001, 2002 dan 2003 diperoleh gambaran bahwa prosentase alokasi anggaran LH rata-rata hanya berkisar antara 0.15 % - 3 % dari total anggaran pembangunan daerah.
Pelestarian fungsi LH dan pemanfaatan SDA yang bijak menjadi faktor penting dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu SDA perlu dipandang sebagai satu kesatuan fungsi ekosistem, yang tidak dapat dipisahkan baik secara sektoral maupun administratif. Ekosistem di mana komoditi SDA dapat dieksploitasi memiliki keseimbangan alamiah dan daya dukung yang terbatas. SDA sebagai satu kesatuan ekosistem menjadi salah satu faktor pembatas dan menjadi variabel penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan. Dengan demikian, -harus dikatakan bahwa- pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mencerminkan kemajuan yang sesungguhnya, tanpa mengikutsertakan perhitungan kerusakan SDA dan LH yang timbul akibat kegiatan pembangunan itu sendiri. Implikasi lainnya, tanpa memperhitungkan kerusakan SDA dan LH dalam ukuran pembangunan ekonomi, berpotensi melemahkan perhatian masyarakat terhadap kerusakan SDA dan LH.

Isu-isu Strategis, serta Azas dan Paradigma Pengelolaan SDA

Kerusakan SDA dan LH semakin mengancam kelestariannya dan sekaligus mengancam keberlanjutan pembangunan. Faktor-faktor utama yang diduga atau setidaknya merupakan penyebab kerusakan dimaksud meliputi; padatnya penduduk dan kemiskinan yang mendorong perambahan perambahan SDA, krisis ekonomi dan moneter yang berkepanjangan, lemahnya upaya penegakan hukumserta rendahnya komitmen penaatan hukum, rendahnya kepedulian lingkungan, hambatan kepemilikan SDA (common property vs private property).
Di samping kerusakan SDA dan LH, kualitas hidup manusia Indonesia semakin menurun dengan indikator sebagai berikut; tingkat kematian bayi yang masih tinggi, persoalan gizi buruk terutama anak BALITA, pudarnya budaya kearifan terhadap SDA dan LH, menurunnya kualitas kawasan konservasi / lindung serta berkembangnya wabah penyakit akibat pencemaran udara dan air.
Isu lain yang mengemuka adalah perubahan lingkungan hidup global semakin mengancam kualitas lingkungan biosfer, dengan indikator; kerusakan keanek-ragaman hayati, pemanasan global / suhu bumi meningkat, penipisan lapisan ozon dan radiasi yang ditimbulkan, perubahan pola iklim dan lain sebagainya. Di samping itu, pengelolaan SDA dan LH telah berkembang menjadi isu-isu politik yg dapat mengancam sinergisme antar daerah. Konflik kepentingan itu antara lain meliputi; batas-batas sumberdaya daya lahan dan hutan, sumberdaya air baik permukaan maupun tanah, polusi udara, asap dan hujan asam, perambahan sumberdaya mineral dan bahan galian serta terganggunya kuantitas dan kualitas distribusi.
Salah satu isu pokok yang juga penting adalah masalah pengelolaan lingkungan yang bertanggung-jawab (good environmental governance). Hal ini akan terkait dengan birokrasi, profesionalitas dan integritas moral. Peranan lembaga legislatif dan peradilan dalm mendukung penegakan hukum juga masih menjadi kendala. Diperlukan suatu lembaga pengontrol kualitas lingkungan yang independen dan berkeadilan serta efektif. Peranan masyarakat dalam pengelolaan partisipatif SDA dan LH belum baik di samping penerapan desentralisasi dalam hal pengelolaan SDA dan LH kurang bertanggung jawab dan tidak efektif.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka tantangan pengelolaan SDA dan LH ke depan akan berhadapan dengan hal-hal seperti dinamika kependudukan, degradasi lingkungan alam, permintaan lingkungan buatan yang semakin mendesak, pencemaran udara dan air, meningkatnya sampah/limbah BBB (bahan, beracun dan berbahaya), degradasi lahan hutan, serta banjir dan kekeringan yang silih berganti.
Untuk itu konsep pembangunan berkelanjutan bukan sekedar dipahami tetapi harus dilaksanakan dengan baik. Proses yg secara berkelanjutan mengoptimalkan manfaat SDA & SDM melalui penyerasian aktivitas manusia sesuai dengan kemampuan / daya dukung lingkungan. Untuk itu paradigma pengelolaan SDA dan LH harus merupakan suatu interaksi berkesetimbangan, optimal dan harmonis pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial dan kelestarian fungsi lingkungan. Unsur-unsur pokok dalam hal ini adalah keseimbangan antara azas manfaat, tanggung jawab dan keberlanjutan yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian atas dasar iman dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa, pembangunan berkelanjutan akan merupakan pembangunan masia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya.

Permasalahan / Hambatan dalam Pengelolaan SDA dan LH

Telah diketahui bersama bahwa sumberdaya alam (SDA) mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian nasional maupun daerah. Demikian pula fungsi SDA terhadap pelestarian lingkungan hidup (LH). Namun demikian, telah diketahui pula bahwa kerusakan SDA telah diikuti oleh berbagai dampak buruk, baik bagi perkembangan ekonomi itu sendiri maupun pelestarian LH. Untuk memahami terjadinya fenomena dimaksud, perlu dilakukan pengungkapan berbagai sebab kerusakan, maupun belum dapat ditanganinya kerusakan dan pencemaran LH tersebut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.000 pulau, Indonesia membentangkan dua kawasan biogeografis – Asia dan Australia - dan mendukung berbagai jenis kehidupan flora dan fauna dalam hutan basah yang asli dan kawasan pesisir dan laut yang kaya. Sekitar 3.305 spesies hewan amfibi, burung, mamalia dan reptil dan sedikitnya 29.375 spesies tumbuhan yang tersebar di pulau-pulau ini, yang diperkirakan mencapai 40 persen dari biodiversitas di kawasan Asia Pasifik. Namun, lingkungan alam yang indah dan sumberdaya yang kaya harus terus menghadapi tantangan dari fenomena alam maupun kegiatan manusia.
Tekanan yang meningkat dalam memenuhi tuntutan penduduk dan pengelolaan lingkungan yang tidak memadai merupakan tantangan yang merugikan rakyat miskin dan perekonomian di Indonesia. Misalnya, total kerugian perekonomian akibat keterbatasan akses ke air bersih dan sanitasi yang aman setidaknya mencapai 2 persen dari PDB setiap tahun sedangkan biaya tahunan yang ditimbulkan polusi udara bagi perekonomian Indonesia telah diperhitungkan mencapai sekitar $400 juta per tahun (Bank Dunia - DFID, 2007). Biaya-biaya ini secara tidak proporsional ditanggung oleh rakyat miskin karena mereka kemungkinan besar harus menghadapi polusi dan sulit melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi dampaknya.
Tantangan sumberdaya alam terus terjadi dan menjadi lebih rumit setelah desentralisasi. Misalnya, sektor kehutanan telah lama memainkan peranan yang sangat penting dalam mendukung pembangunan perekonomian dan mata pencaharian masyarakat pedesaan dan dalam menyediakan pelayanan lingkungan, tetapi, sumberdaya ini belum dikelola secara berkelanjutan atau adil. Kerangka administratif dan peraturan di Indonesia belum dapat memenuhi tuntutan akan adanya pembangunan yang berkelanjutan meskipun adanya dukungan kebijakan dan pengembangan kapasitas dari pemerintah sendiri maupun dukungan dari donor internasional.
Kinerja yang buruk terutama disebabkan oleh dua alasan: Pertama, meskipun terdapat investasi yang besar pada kebijakan lingkungan dan sumberdaya alam serta pengembangan kepegawaian, pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih buruk dan lambat karena lemahnya komitmen instansi-instansi sektoral. Selain itu, pengetahuan tentang dampak negatif lingkungan yang diperkirakan akan terjadi dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mekanisme bagi stakeholder untuk meminta pertanggungjawaban kinerja instansi pemerintah masih lemah. Kedua, pertimbangan-pertimbangan lingkungan masih sangat minim di tingkat perencanaan dan penyusunan program, terutama dalam proses perencanaan investasi publik dan dalam rencana tata guna lahan dan sumberdaya daerah.
Masalah-masalah yang paling serius mengancam kemajuan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia adalah dorongan yang keliru yang menghambat penggunaan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Sumberdaya alam memberikan kontribusi yang besar kepada PDB Indonesia dan anggaran belanja Pemerintah. Masih menurut Bank Dunia, (DFID = Department for International Development, 2007), sektor pertanian, kehutanan, dan pertambangan menyumbang sekitar 25% PDB Indonesia dan sekitar 30% dari seluruh penerimaan anggaran Pemerintah (pada tahun 2005, pajak penghasilan atas migas mencapai 7% dari pendapatan, dan penerimaan bukan pajak atas pendapatan sumberdaya alam mencapai 22% dari pendapatan negara). Namun, kebijakan makro ekonomi Indonesia (kebijakan pendapatan pajak dan bukan pajak serta pola perimbangan keuangan) tampaknya mendorong terjadinya pengurasan sumberdaya alam akibat penggunaan yang terus-menerus. Kebijakan-kebijakan pemerintah kabupaten tentang penerimaan dari sumberdaya ini ikut memperparah situasi.
Kesenjangan antara kebijakan dan praktek setelah desentralisasi cenderung memperlambat perbaikan yang signifikan pada kualitas lingkungan. Di bawah sistem desentralisasi, kini sedang diujicoba sampai sejauh mana pemerintah daerah merasa terikat oleh garis kebijakan nasional termasuk dalam kaitan dengan pengelolaan SDA dan LH. Meskipun adanya investasi yang besar pada kebijakan lingkungan dan pengembangan kepegawaian, namun pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih buruk. Diperlukan kajian ulang tentang mekanisme pengelolaan SDA dan LH di bawah sistem desentralisasi, untuk menemukan pendekatan yang lebih efektif. Banyak provinsi dan kabupaten membuat penafsiran-penafsiran baru mengenai peraturan yang ada, atau berupaya mencari prosedur peraturan yang seluruhnya baru. Meskipun sebagian inovasi ini memperkuat pengendalian lingkungan, namun sebagian besar malah mengendurkan pengendalian atau bahkan mengabaikan seluruh standar nasional.
Selanjutnya, kesadaran masyarakat adalah penting dalam upaya mengatasi masalah lingkungan di Indonesia, dari risiko bencana alam sampai konservasi biodiversitas. Warga masyarakat yang terinformasi dan sadar dapat mengambil tindakan untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan dan dapat membentuk kelompok untuk peningkatan upaya penanganan di tingkat politik maupun pemerintah daerah. Namun, di tingkat yang lebih luas, nilai-nilai lingkungan belum tertanam dengan kuat pada masyarakat sehingga mereka kurang menghargai sumberdaya alam dan pelayanan lingkungan. Bencana-bencana lingkungan yang baru-baru ini terjadi (banjir, lumpur, kebakaran, erosi) memang telah mendorong perhatian yang lebih besar kepada masalah lingkungan, namun pengkajian lebih lanjut mengenai pengetahuan, sikap dan praktek masih perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana pemahaman ini mencapai masyarakat di pedesaan maupun terutama perkotaan. Pengkajian dimaksud juga untuk menemukan metoda dan sarana yang paling cocok untuk membangun di atas kesadaran dasar ini.
Manfaat sosial, lingkungan dan ekonomi, risiko dan biaya dari langkah-langkah alternatif pembangunan, kebijakan energi, praktek sektor kehutanan dan masalah perubahan iklim saling berhubungan erat. Bahan bakar fosil mendominasi konsumsi energi di Indonesia, di daerah pedesaan maupun perkotaan, dan Indonesia secara bertahap sedang meningkatkan penggunaan energi yang dihasilkan oleh batu bara (sekitar 40% pada tahun 2002). Indonesia juga merupakan penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, yang memproduksi 80% gas rumah kaca dari perubahan penggunaan lahan selain penebangan hutan dan kebakaran hutan/gambut.
Kebijakan energi nasional mendorong peningkatan pemanfaatan sumber energi yang dapat diperbaharui termasuk biomassa, panas bumi dan tenaga air. Pada saat yang sama, pemerintah merencanakan pemanfaatan batu bara berskala besar untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak. Peningkatan pemanfaatan batu bara dapat menimbulkan dampak lingkungan negatif yang signifikan terkait dengan kandungan sulfur yang tinggi dan dampak potensial terhadap hutan akibat pembukaan lahan. Solusi energi alternatif diperlukan bagi daerah-daerah yang lebih terpencil dengan harga yang sesuai dan dukungan sektor publik.
Hambatan lain terkait dengan masalah kemiskinan. Kemiskinan yang terjadi di sejumlah negara berkembang jumlahnya mencapai ratusan juta jiwa dan tersebar di sebagian besar negara Amerika Latin, Afrika dan Asia Selatan. Kemiskinan absolut yang ada di dunia merupakan kemiskinan menyeluruh yang meliputi aspek: kurang pangan, buta huruf, wabah penyakit, lingkungan kumuh, gizi buruk, tingginya angka kematian bayi dan rendahnya harapan hidup. Penyebab kemiskinan adalah akibat pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat, kegagalan pemerintah dalam memperbaiki sistem perekonomian dan politik, menumpuknya hutang-hutang negara miskin.
Keadaan ini mendorong orang kelaparan dan orang-orang miskin untuk mengeksploitasi sumberdaya alam dan lingkungan secara tidak terencana yang berakibat pada kemerosotan dan kehancuran lingkungan hidup. Penyebab kerusakan lingkungan hidup di negara maju disebabkan oleh persoalan pencemaran udara dan kebisingan yang bersumber dari aktivitas kendaraan bermotor, pembangkit tenaga listrik serta industri dan rumah tangga yang terlalu banyak mengkonsumsi energi.
Indonesia sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke 4 di dunia pun mengalami hal-hal yang disebutkan dan dalam kondisi yang masih menguatirkan. Masalah kemiskinan serta kesehatan dan gizi buruk dari jutaan rakyat miskin masih menjadi masalah utama di samping persoalan sampah, pencemaran udara dan air di kota-kota besar.

Selasa, 02 Desember 2008

Potensi SDA indonesia dan Penyebarannya

Sumberdaya alam di Indonesia adalah segala potensi alam yang dapat dikembangkan untuk proses produksi. Sumberdaya alam ialah semua kekayaan alam baik berupa benda mati maupun benda hidup yang berada di bumi dan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Proses terbentuknya sumberdaya alam di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain :
a. Secara astronomis, Indonesia terletak di daerah tropis dengan curah hujan tinggi menyebabkan aneka ragam jenis tumbuhan dapat tumbuh subur, sehingga negara ini kaya akan berbagai jenis tumbuhan.
b. Secara geologis, Indonesia terletak pada pertemuan jalur pergerakan lempeng tektonik dan pegunungan muda menyebabkan terbentuknya berbagai macam sumberdaya mineral yang potensial untuk dimanfaatkan.
c. Wilayah lautan di Indonesia mengandung berbagai macam sumberdaya nabati, hewani, dan mineral antara lain ikan laut, rumput laut, mutiara serta tambang minyak bumi.
Jumlah dan kualitas sumberdaya alam sangat banyak dan tersebar di berbagai daerah. Selain itu, kualitasnya pun sangat bagus sehingga dapat diekspor ke berbagai negara sehingga dapat memenuhi devisa negara. Jenis sumberdaya alam yang diekspor meliputi minyak bumi, gas alam dan bahan tambang lainnya. Hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, pariwisata dan hasil industri lainnya juga dapat diekspor ke luar negeri untuk berbagai kepentingan.
Sumberdaya alam hayati terdiri dari sumberdaya alam hewani dan nabati.
· Sumberdaya alam nabati. Indonesia adalah negara yang kaya akan sumberdaya alam, dianugerahi tanah yang subur sehingga tumbuhan dapat tumbuh dengan sempurna. Wilayah flora di Indonesia meliputi Hutan Tropis, Hutan Musim, Stepa, dan Sabana.
· Sumberdaya alam hewani. Pada umumnya persebaran fauna di Indonesia dibagi 3 wilayah yaitu, wilayah Indonesia bagian Barat, Indonesia bagian Tengah, dan Indonesia bagian Timur. Ketiganya dibatasi oleh garis Wallace dan garis Weber. Bagian Barat lebih cenderung mengikuti ragam hewan Asia, sedangkan bagian Timur mengikuti ragam hewan Australia. Ciri-ciri khusus hewan Indonesia terdapat pada wilayah bagian tengah.
Sumberdaya sedimen tersebar di darat dan laut atau perairan. Penyebaran barang tambang di Indonesia (Suparmoko, 2005) adalah sebagai berikut:
· Minyak bumi. Minyak bumi berasal dari mikroplankton yang terdapat di danau-danau, teluk-teluk, rawa-rawa dan laut-laut dangkal. Sesudah mati mikroplankton berjatuhan dan mengendap di dasar laut kemudian bercampur dengan sedimen. Akibat tekanan lapisan-lapisan atas dan pengaruh panas magma, dan terjadilah proses destilasi hingga terjadi minyak bumi kasar. Daerah-daerah penghasil minyak bumi di Indonesia adalah sebagai berikut :
o Pulau Jawa: Cepu, Cirebon dan Wonokromo.
o Pulau Sumatera : Palembang dan Jambi.
o Pulau Kalimantan : Pulau Tarakan, Pulau Bunyu dan Kutai.
o Pulau Irian (Papua): Sorong.
· Gas alam. Gas alam merupakan campuran beberapa hidrokarbon dengan kadar karbon kecil yang digunakan sebagai bahan baker. Ada dua macam gas alam cair yang diperdagangkan, yaitu LNG (liquefied natural gas) dan LPG (liquefied petroleum gas).
· Batu bara. Batu bara terbentuk dari tumbuhan yang tertimbun hingga berada dalam lapisan batu-batuan sediment yang lain. Proses pembentukan batu bara disebut juga inkolent yang terbagi menjadi dua, yaitu prose biokimia dan proses metamorfosis. Daerah tambang batu bara di Indonesia adalah sebgai berikut :
o Ombilin dekat Sawahlunto (Sumatera Barat)
o Bukit Asam dekat Tanjung Enin (Palembang)
o Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan (Pulau Laut / Sebuku)
o Jambi, Riau, Aceh dan Papua.
· Tanah liat. Merupakan tanah yang mengandung lempung, banyak terdapat di dataran rendah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
· Kaolin. Terbentuk dari pelapukan batu-batuan granit. Banyak terdapat di daerah sekitar pegunungan di Pulau Sumatera
· Gamping. Batu kapur terbentuk dari pelapukan sarang binatang karang. Banyak terdapat di Pegunungan Seribu dan Pegunungan Kendeng.
· Pasir kuarsa. Merupakan pelapukan batu-batuan yang hanyut lalu mengendap di daerah sekitar sungai, pantai dan danau. Banyak terdapat di Banda Aceh, Bangka, Belitung dan Bengkulu.
· Pasir besi. Merupakan batuan pasir yang banyak mengandung zat besinya. Terdapat di Pantai Cilacap, Jawa Tengah.
· Marmer atau batu pualam. Merupakan batu kapur yang telah berubah bentuk dan rupanya. Banyak terdapat di Trenggalek, Jawa Timur, dan daerah Bayat (Jawa Tengah)
· Batu akik. Merupakan batuan atau mineral yang cukup keras dan berwarna. Terdapat di daerah pegunungan dan sekitar aliran sungai.
· Bauksit. Banyak terdapat di Pulau Bintan dan Riau.
· Timah. Daerah penghasil timah di Indonesia adalah Pulau Bangka, Belitung dan Singkep.
· Nikel. Terdapat di sekitar Danau Matana, Danau Towuti dan di Kolaka.
· Tembaga. Terdapat di Tirtomoyo, Wonogiri (Jawa Tengah), Muara Simpeng (Sulawesi) dan Tembagapura (Papua).
· Emas dan perak. Merupakan logam mulia. Terdapat di Tembagapura, Batu hijau, Tasikmalaya, Simau, Logos, Meulaboh.
· Belerang. Terdapat di kawasan Gunung Telaga Bodas ( Garut ) dan di kawah gunung berapi, seperti di Dieng (Jawa Tengah).
· Mangan. Terdapat di Kliripan (Yogyakarta), Pulau Doi (Halmahera) dan Karang nunggal.
· Fosfat. Terdapat di Cirebon, Gunung Ijen, dan Banyumas.
· Besi. Besi baja adalah besi yang kandungannya atau campuran karbonnya rendah.
· Mika. Terdapat di Pulau Peleng, Kepulauan Banggay dan di Maluku.
· Tras. Terdapat di Pegunungan Muria (Jawa Tengah).
· Intan. Terdapat di Martapura (Kalimantan Selatan).
Jadi, seperti yang telah diuraikan di atas, sumberdaya alam dan lingkungan hidup merupakan wujud dari ekosistem yang dimanfaatkan manusia untuk kehidupannya. Perhatian penting harus diberikan terhadap keberadaan sumberdaya alam yang dikelompokkan sebagai sumberdaya alam yang dapat diperbarui dan yang tidak dapat diperbarui.
Ciri khas sumberdaya alam dan lingkungan Indonesia adalah terdapatnya berbagai ragam ekosistem yang mampu menopang perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Kekhasan dan keragaman ekosistem yang potensial untuk dipergunakan sepenuhnya bagi kebutuhan hidup manusia adalah untuk pembangunan ekonomi, industri, sosial, budaya dan kesehatan lingkungan. Bentuk dan ukuran potensial dan tingkat kelangkaan sumberdaya alam dan lingkungan didasarkan pada kuantitas dan kualitas jenis ataupun spesis dari sumberdaya alam itu sendiri.
Potensi dan kelangkaan sumberdaya alam dan lingkungan sangat tergantung pada manusia yang mengelolanya baik potensi alam yang ada di darat maupun di dalam air. Kekhasan potensi sumberdaya alam dan lingkungan di daerah dapat dilihat pada berbagai macam bentuk komponen ekosistem yang ada seperti; di darat terdapat hutan beserta spesies satwa yang ada di dalamnya dan cadangan aneka bahan tambang, ekosistem terumbu karang dan padang lamun di laut beserta spesis satwa ikan dan lainnya. Keberadaan sumberdaya alam tersebut dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan umat manusia dengan jalan mengenali potensi dan keterbatasannya untuk dikelola dengan baik dan benar.

Senin, 01 Desember 2008

Pengertian SDA dan Kategori Jenisnya

Sumberdaya alam adalah semua benda hidup maupun mati yang ada atau terdapat secara alamiah di bumi serta dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Sumberdaya alam bisa terdapat di mana saja seperti di dalam tanah, air, permukaan tanah, di laut, udara, dan lain sebagainya. Contoh dasar sumberdaya alam adalah barang tambang, sinar matahari, tumbuhan, hewan dan banyak lagi. Keberadaan dan ketersediaannya maupun penyebarannya tidak merata secara geografis. Pemanfaatannya secara efesien tergantung pada teknologi dan jika melalui proses pengolahan, akan menghasilkan produk bernilai tambah namun sekaligus menghasilkan limbah.
Beberapa istilah atau konsep dasar yang berkaitan dengan judul makalah ini meliputi hal-hal sebagai berikut:
· Lingkungan hidup atau lingkungan adalah; semua faktor biotik dan abiotik yang berada di sekitar makluk hidup atau dengan kata lain, lingkungan hidup adalah sistem kehidupan yang merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan (tatanan alam) dan makhluk hidup termasuk manusia dengan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
· Pengelolaan lingkungan hidup yang diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang mencakup kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Pasal 1 angka 2 Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup).
· Ekologi adalah; ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makluk hidup dan lingkungannya.
· Ekosistem adalah; suatu kawasan alam yang di dalamnya tercakup unsur-unsur hayati (organisme) dan unsur-unsur non hayati (zat-zat tidak hidup) serta antara unsur-unsur tersebut terjadi hubungan timbal-balik.
· Sistem adalah himpunan komponen-komponen atau elemen-elemen atau bagian yang saling berkaitan dan secara bersama-sama berfungsi untuk mencapai sesuatu tujuan.
· Pencemaran lingkungan adalah; peristiwa adanya penambahan bermacam-macam bahan sebagai hasil dari aktivitas manusia ke lingkungan dan biasanya memberikan pengaruh yang berbahaya terhadap lingkungan itu sendiri.
· Pembangunan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan potensi sumberdaya alam ke dalam perilaku manusia yang menjamin kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan juga untuk makhluk hidup lain seraya menjaga kualitas sumberdaya pembangunan itu secara terus-menerus (berkelanjutan).

Sumberdaya alam berdasarkan jenisnya, terdiri atas :
· sumberdaya alam hayati / biotik yakni sumberdaya yang berasal dari makhluk hidup seperti; tumbuhan, hewan, mikro organisme, dan lain-lain
· sumberdaya alam non hayati / abiotik adalah sumberdaya yang berasal dari benda mati seperti; bahan tambang, air, udara, batuan, dan lain-lain
Sumberdaya alam berdasarkan sifat pembaharuan atau dapat tidaknya diperbaharui terdiri atas :
· sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) yaitu sumberdaya yang dapat digunakan berulang-ulang kali dan dapat dilestarikan. Contohnya adalah; air, tumbuh-tumbuhan, hewan, hasil hutan, dan lain-lain. Disebut demikian, karena alam mampu mengadakan pembentukan baru dalam waktu relatif cepat, secara reproduksi atau siklus.
o perbaruan dengan reproduksi. Hal ini terjadi pada sumberdaya alam hayati, karena hewan dan tumbuhan dapat berkembang biak sehingga jumlahnya selalu bertambah.
o perbaruan dengan adanya siklus. beberapa SDA ,misalnya air dan udara terjadi dalam proses yang melingkar membentuk siklus.
· sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (non renewable) ialah sumberdaya yang tidak dapat didaur ulang atau bersifat hanya dapat digunakan sekali saja atau tidak dapat dilestarikan serta dapat punah. Contoh : bahan mineral, minyak bumi, batubara, timah, gas alam, dll. SDA ini terdapat dalam jumlah relatif statis karena tidak ada penambahan atau waktu pembentukan yang lama. Berdasarkan daya pakai dan nilai konsumtifnya, SDA ini dibagi 2, yaitu SDA yang tidak cepat habis karena nilai konsumtifnya kecil dan SDA yang cepat habis karena nilai konsumtif barang tersebut relatif tinggi.
Menurut cara terbentuknya bahan galian dibagi menjadi;
o bahan galian magmatik
o bahan galian pegmatit
o bahan galian hasil pengendapan
o bahan galian hasil pengayaan sekunder
o bahan galian hasil metamorfosis kontak
o bahan galian termal
Sedangkan kategori bahan galian menurut kepentingan bagi negara:
o Golongan A, golongan bahan galian strategis
o Golongan B, golongan bahan galian vital
o Golongan C, bahan galian yang tidak termasuk ke dalam golongan A atau B
Sumberdaya alam yang tidak terbatas jumlahnya (cycle / unlimited); seperti sinar matahari, arus air laut, udara, dan lain lain.
Sumberdaya alam berdasarkan kegunaan atau penggunaannya dapat dikategorikan sebagai berikut :
· sumberdaya alam penghasil bahan baku yakni; sumberdaya alam yang dapat digunakan untuk menghasilkan benda atau barang lain sehingga nilai gunanya akan menjadi lebih tinggi. Contoh; hasil hutan, barang tambang, hasil pertanian, dan lain-lain.
· sumberdaya alam penghasil energi yang meliputi sumberdaya alam yang dapat menghasilkan atau memproduksi energi demi kepentingan umat manusia di muka bumi. Contoh; ombak, panas bumi, arus air sungai, sinar matahari, minyak bumi, gas bumi, batu bara, dan lain sebagainya.

Berdasarkan bentuk yang dimanfaatkan maka sumberdaya alam dapat dikategorikan sebagai berikut;
· SDA Materi, yaitu bila yang dimanfaatkan adalah materi sumberdaya alam tersebut. Contoh : siderit, limonit dapat dilebur jadi besi/baja
· SDA Hayati, ialah SDA yang berbentuk makhluk hidup, yaitu hewan dan tumbuhan. SDA tumbuhan disebut SDA Nabati dan hewan disebut SDA Hewani.
· SDA Energi, yaitu bila barang yang dimanfaatkan manusia adalah energi yang terkandung dalam SDA tersebut
· SDA Ruang, adalah ruang atau tempat yang diperlukan manusia dalam hidupnya.
· SDA Waktu, sebagai sumberdaya alam, waktu tidak berdiri sendiri melainkan terikat dengan pemanfaatan sumberdaya alam lainnya.