Rabu, 03 Desember 2008

Pemanfaatan Sumberdaya Alam Indonesia dan Dampaknya

Menurut Bappenas, (2005) penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berasal dari SDA mempunyai kontribusi terbesar. Pada tahun 2003 PNBP yang berasal dari SDA sebesar 73,9 % dari total PNBP. Selain itu SDA mampu memberikan kontribusi terhadap PDB sekitar 30 % dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 57 % dari total angkatan kerja (BPS, 2005). Ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas non migas. Pada tahun 2000, ekspor non migas mencapai US$ 47,8 miliar atau sekitar 76,9% dari total ekspor nasional. Pada tahun 2004 ekspor non migas mencapai 78,1% dari nilai total ekspor. Selanjutnya, dalam kurun waktu 2000-2004 trend ekspor non migas naik rata-rata sebesar 4,5% per tahun. Dalam kurun waktu yang sama ekspor migas hanya meningkat sebesar 2,8% per tahun, impornya meningkat sangat besar yaitu 20,2% per tahun, sehingga surplus sudah semakin menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 15,8% per tahun (Koesnadi Hardjasoemantri, 2006).
Kondisi di atas menunjukkan bahwa SDA masih diandalkan dalam perekonomian nasional. Surplus migas sudah semakin kecil. Peran non migas terus meningkat. Ketika pentingnya non migas – terutama yg berasal dari SDA terbarukan (renewable resources) – tidak kunjung dapat diimbangi oleh upaya pelestariannya, perekonomian nasional berpotensi menghadapi krisis. Potensi terjadinya krisis tersebut ditandai oleh rusaknya SDA, khususnya yang berada di dalam kawasan lindung – telah mengakibatkan dampak negatif bagi LH. Kerusakan kawasan lindung telah menyumbang terjadinya bencana banjir dan longsor, serta di beberapa lokasi menyumbang terjadinya kekeringan dan potensi peledakan hama pertanian, sehingga telah mengurangi produktivitas hasil-hasil pertanian.
Sementara itu, sektor pertanian dalam arti luas, juga masih harus menjadi penyangga dalam penyerapan tenaga kerja nasional. Pada tahun 2001 sebanyak 39,7 juta orang bekerja pada sektor pertanian atau 43,8% dari jumlah tenaga kerja secara nasional. Jumlah itu semakin meningkat pada tahun 2003 mencapai 43,0 juta orang atau sebesar 46,3% dari jumlah tenaga kerja secara nasional. Pada tahun 2004 penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sempat menurun menjadi 40,6 juta orang atau sebesar 43,5% dari tenaga kerja nasional tapi pada tahun 2005 naik lagi menjadi 41,8 juta orang (44,0%) (Bappenas, 2005 dalam Koesnadi Hardjasoemantri,2006).
Di satu pihak, penyerapan tenaga kerja tersebut merupakan kontribusi sektor pertanian dalam mengatasi pengangguran, tetapi di lain pihak ini merupakan indikasi bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor lain mengalami penurunan dan menyebabkan sektor pertanian menjadi “sulit”. Hal ini mengakibatkan beban sektor pertanian untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerjanya semakin berat, apalagi dengan adanya tekanan, di satu sisi, untuk peningkatan efisiensi dan daya saing sektor pertanian menghadapi pasar global, dan di sisi lain, terjadinya kerusakan daya dukung lingkungan.
Rendahnya daya dukung lingkungan ditandai setidaknya dalam lima tahun terakhir yang setiap tahunnya telah terjadi banjir, banjir bandang, dan longsor. Dalam tahun 2003 saja, di Indonesia telah terjadi 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 provinsi, di samping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 provinsi. Dalam tahun yang sama tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 Provinsi dan 36 Kabupaten. Selama periode itu juga, 19 provinsi lahan sawahnya terendam banjir, 263.071 Ha sawah terendam dan gagal panen, serta 66.838 Ha sawah puso (Kantor KLH, 2006).
Kerusakan SDA telah menyebabkan, di satu sisi menurunnya daya dukung lingkungan, dan di sisi lain, kemiskinan. Kemiskinan yang dipicu oleh berkurangnya atau bahkan hilangnya SDA sebagai tumpuan hidup masyarakat telah menumbuhkan sikap pragmatis masyarakat, seperti melakukan penjarahan dan memicu terjadinya konflik. Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan pengelolaan SDA telah melahirkan dan menyimpan potensi konflik yang lebih besar dan luas.
Sektor LH sebagai benteng terakhir untuk menangani akibat kerusakan SDA juga belum mendapat perhatian yang cukup. Hal demikian itu dicermikan antara lain oleh kecilnya anggaran yang dialokasikan untuk pengelolaan SDA/LH yang hanya kurang dari 1% dari PNBP atau hanya berkisar 1 – 1,5 % dari total anggaran pembangunan. Kondisi tersebut juga terjadi pada tingkat pemerintah daerah. Dari data alokasi anggaran pembangunan daerah (provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Jawa Tengah, Di Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Nusa Tenggra Timur) sejak tahun 2001, 2002 dan 2003 diperoleh gambaran bahwa prosentase alokasi anggaran LH rata-rata hanya berkisar antara 0.15 % - 3 % dari total anggaran pembangunan daerah.
Pelestarian fungsi LH dan pemanfaatan SDA yang bijak menjadi faktor penting dalam mencapai tujuan pembangunan nasional. Oleh karena itu SDA perlu dipandang sebagai satu kesatuan fungsi ekosistem, yang tidak dapat dipisahkan baik secara sektoral maupun administratif. Ekosistem di mana komoditi SDA dapat dieksploitasi memiliki keseimbangan alamiah dan daya dukung yang terbatas. SDA sebagai satu kesatuan ekosistem menjadi salah satu faktor pembatas dan menjadi variabel penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan. Dengan demikian, -harus dikatakan bahwa- pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu mencerminkan kemajuan yang sesungguhnya, tanpa mengikutsertakan perhitungan kerusakan SDA dan LH yang timbul akibat kegiatan pembangunan itu sendiri. Implikasi lainnya, tanpa memperhitungkan kerusakan SDA dan LH dalam ukuran pembangunan ekonomi, berpotensi melemahkan perhatian masyarakat terhadap kerusakan SDA dan LH.

Tidak ada komentar: